TINJAUAN PUSTAKA
Fungsi dan
Metabolisme Fe
Zat
besi merupakan salah satu mineral mikro yang mempunyai peranan penting di dalam
tubuh. Zat besi berperan dalam produksi komponen pembawa oksigen dalam darah,
yaitu: hemoglobin. Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya
untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP). sebagai media transportasi bagi oksigen
dari paru-paru ke berbagai jaringan tubuh. Zat besi juga merupakan
bagian dari sistem enzim dan mioglobin, yaitu: molekul
mirip hemoglobin yang terdapat di dalam sel-sel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan
oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel-sel otot.
Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen membuat daging dan otot-otot berwarna merah.
Di samping sebagai komponen hemoglobin dan mioglobin, zat
besi
juga merupakan komponen dari enzim oksidase pemindah energi, yaitu: sitokrom paksidase dan xanthine oksidase (Maeyer 1993).
Metabolisme besi dalam tubuh terdiri atas proses absorpsi, pengangkutan,
pemanfaatan, penyimpanan, dan pengeluaran. Besi dari makanan ada yang diserap
ke usus halus dan ada pula yang keluar melalui tinja. Pada penyerapan di usus
halus makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah diserap
dalam bentuk ferro melalui pengangkutan ion ferro yang sudah diabsorpsi diubah
menjadi ion ferri dalam mukosa usus. Ion ferri akan masuk ke dalam plasma
dengan perantara transferin yang diubah menjadi ferritin yang disimpan di dalam
sel mukosa. Apabila simpanan besi total tinggi dan kebutuhan besi tubuh rendah,
besi yang baru diabsorpsi dimasukan ke dalam ferritin dan tidak diangkut ke tempat
lain. Apabila simpanan besi berkurang atau kebutuhan besi meningkat, besi yang
baru diabsorpsi langsung diangkut dari sel-sel mukosa ke sumsum tulang untuk
produksi hemoglobin (Parakkasi 1992).
Menurut Parakkasi (1992) besi dalam darah akan diikat transferin, suatu
globulin-β yang khusus mengikat besi ferri. Reseptor-reseptor
transferin glikoprotein dalam jumlah
yang besar di sel-sel eritroid yang berproliferasi
mengikat besi transferin dan menginternalisasikan
besi
tersebut merilisnya ke sel. Transferin dan reseptor trasferin didaur ulang dan membentuk suatu mekanisme efisien
untuk menggabungkan besi ke hemoglobin untuk pembentukan sel
darah merah.
Parakkasi (1995) berpendapat bahwa besi disimpan dalam bentuk ferritin,
dalam sel-sel mukosa usus dan dalam makrofag di dalam hati, limpa, dan sumsum
tulang. Sintesis apoferritin diatur oleh kadar besi bebas. Apabila kadar rendah,
sintesis apoferritin dihambat dan keseimbangan ikatan besi bergeser menuju
transferin. Apabila kadar besi bebas tinggi, lebih banyak apoferrin yang diproduksi
sebagai usaha untuk mengamankan lebih banyak besi dan melindungi organ-organ
dari efek toksik kelebihan besi bebas.
Setiap 120 hari sel-sel darah merah mati dan digantikan dengan yang
baru, proses penggantian tersebut disebut turn over. Setiap hari turn
over besi berjumlah 35 mg. Hanya 1 mg besi dari penghancuran sel-sel darah
merah tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air
kencing. Jumlah besi yang hilang melalui jalur ini disebut kehilangan besi
basal. Selama menstruasi, besi hilang sebanyak 28 mg per periode (Parakkasi
1992).
Dalam makanan terdapat dua macam zat besi, yaitu: besi heme dan
besi nonhem. Besi heme merupakan zat besi yang terdapat pada pangan
hewani seperti daging merah. Sementara itu, besi nonhem merupakan zat
besi dalam makanan yang terdapat pada pangan nabati, seperti
pada sayuran berwarna hijau tua (Wirakusumah 1992).
Bioavailabilitas zat besi ditentukan
oleh efisiensi penyerapan zat besi di dalam usus. Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh sumber zat besi itu sendiri,
protein, serta adanya faktor penghambat dan pendorong penyerapan zat besi. Zat
besi yang berbentuk besi heme lebih mudah diserap. Hal tersebut disebabkan
adanya sejumlah faktor penghambat pada pangan nabati sumber zat besi. Protein
sebagai alat angkut dan penyimpanan terhadap hemoglobin yaitu mengangkut
oksigen dalam eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion
besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati
sebagai kompleks dengan ferritin. Dengan demikian, protein berkorelasi positif
dengan bioavailabilitas zat besi (Winarno 2002).
Winarno (2002) menjelaskan bahwa faktor penghambat penyerapan besi di
antaranya adalah asam fitat, asam oksalat, senyawa phenol, dan kalsium. Asam
fitat banyak terdapat pada serat serealia, sedangkan asam oksalat terdapat pada
sayuran. Asam fitat dan asam oksalat mengikat besi sehingga mempersulit
penyerapannya. Senyawa phenol biasa terdapat di
dalam tanaman (teh, kopi, coklat, sayuran) sebagai sistem pertahanan diri tanaman.
Phenol yang memiliki tiga gugus hidroksil akan mengikat besi bervalensi tiga
membentuk chelat sehingga dapat
mengurangi bioavailabilitas zat besi. Tanin pada
teh dan asam chlorogenat pada kopi merupakan contoh senyawa phenol
yang dapat mengikat zat besi. Kalsium juga termasuk salah satu unsur yang
menghambat penyerapan besi. Hal ini disebabkan kompetisi kalsium dan zat besi pada saat proses transfer di
saluran intrasellular.
Di sisi lain, penyerapan besi dapat meningkat karena adanya pendorong
penyerapan seperti vitamin C. Vitamin C atau asam askorbat dapat
mereduksi ferri (Fe3+) menjadi zat besi dalam bentuk ferro (Fe2+)
sehingga dapat lebih mudah melewati dinding mukosa usus. Selain itu, asam askorbat dapat mencegah
terjadinya pengendapan senyawa ferri compleks (misal : ferri hidroksida) di
dalam usus. Kebutuhan zat besi tubuh yang sedang meningkat dan
ketika kekurangan besi feritin di mukosa usus juga dapat meningkatkan
penyerapan besi (Winarno 2002).
Oleh karena itu, bioavailabilitas zat besi pada setiap bahan pangan pun
berbeda-beda. Pangan hewani yang merupakan sumber zat besi heme biasanya
memiliki bioavailabilitas zat besi yang tinggi, yaitu: di atas 50%. Sementara
itu, pangan nabati yang cenderung memiliki zat-zat yang menghambat penyerapan besi
memiliki nilai bioavailabilitas besi lebih rendah dibandingkan pangan hewani,
yaitu di bawah 50%. Namun, tidak demikian dengan brokoli. Brokoli merupakan
salah satu pangan nabati yang memiliki nilai bioavailabilitas besi yang cukup
tinggi, yaitu: 61,3%. Nilai bioavailabilitas tertinggi zat besi adalah 100%
(Winarno 2002).
Kebutuhan, Defisiensi, dan Kelebihan Zat Besi
Muhilal dan Sulaeman (2004) memaparkan kebutuhan zat besi tubuh
berbeda-beda tergantung usia, jenis kelamin, dan kondisi fisiologi. Berdasarkan
angka kecukupan gizi (AKG) individu pada usia pertumbuhan memiliki kebutuhan
zat besi yang lebih tinggi. Sementara itu, perempuan memiliki kebutuhan zat
besi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kondisi fisiologi yang dapat
meningkatkan kebutuhan zat besi adalah hamil dan menyusui.
Apabila zat besi dalam tubuh berkurang, tubuh akan mengalami anemia gizi
besi. Anemia
didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih
rendah daripada nili normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Anemia defisiensi besi mengakibatkan beberapa dampak negatif, antara lain: berkurangnya kekebalan tubuh, menurunnya daya konsentrasi,
menurunnya daya ingat, menurunnya performa belajar, mudah marah,
berkurangnya nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh. Sebagai indikator level
jumlah zat besi di dalam tubuh, feritin yang bersirkulasi di dalam darah
dapat digunakan untuk menilai status zat besi di dalam tubuh. Sementara itu, kelebihan zat besi bisa menyebabkan
keracunan, kerusakan usus, dan
kanker hati. Gejala-gejala yang menyertainya adalah muntah, diare, dan kulit berwarna merah tembaga (Maeyer 1993).
PEMBAHASAN
Mineral yang
diukur bioavailabilitasnya pada praktikum kali ini salah satunya adalah zat
besi. Berdasarkan pemaparan dari Maeyer (1993) zat
besi merupakan salah satu mineral mikro yang mempunyai peranan penting di dalam
tubuh. Zat besi berperan dalam produksi komponen pembawa oksigen dalam darah,
yaitu: hemoglobin. Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya
untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP) sebagai media transportasi bagi oksigen dari paru-paru ke berbagai jaringan
tubuh. Selain itu, zat besi merupakan
bagian dari sistem enzim dan mioglobin. Mioglobin berkaitan dengan oksigen dan
mengangkutnya melalui darah ke sel-sel otot. Di samping sebagai komponen hemoglobin dan
mioglobin, zat besi juga merupakan komponen dari enzim oksidase pemindah energi,
yaitu: sitokrom paksidase dan xanthine oksidase (Maeyer 1993).
Konsep bioavailabilitas
tidak terlepas dari metabolisme. Untuk mengetahui bioavailabilitas suatu zat
gizi termasuk mineral, pemahaman tentang metabolism mineral tersebut di dalam
tubuh merupakan dasar yang diperlukan. Metabolisme zat besi dalam tubuh
terdiri atas proses pencernaan, absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan,
dan pengeluaran. Setelah proses pencernaan di lambung, zat besi dari makanan ada
yang diserap ke usus halus dan ada pula yang keluar melalui tinja. Zat ini
lebih mudah diserap dalam bentuk ferro melalui pengangkutan ion ferro yang
sudah diabsorpsi diubah menjadi ion ferri dalam mukosa usus. Ion ferri akan
masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin yang diubah menjadi ferritin
yang disimpan di dalam sel mukosa. Apabila simpanan besi total tinggi dan
kebutuhan besi tubuh rendah, besi yang baru diabsorpsi dimasukan ke dalam
ferritin dan tidak diangkut ke tempat lain. Apabila simpanan besi berkurang
atau kebutuhan besi meningkat, besi yang baru diabsorpsi langsung diangkut dari
sel-sel mukosa ke sumsum tulang untuk produksi hemoglobin (Parakkasi 1992).
Parakkasi (1995) berpendapat bahwa besi disimpan dalam bentuk ferritin,
dalam sel-sel mukosa usus dan dalam makrofag di dalam hati, limpa, dan sumsum
tulang. Sintesis apoferritin diatur oleh kadar besi bebas. Apabila kadar rendah,
sintesis apoferritin dihambat dan keseimbangan ikatan besi bergeser menuju
transferin. Apabila kadar besi bebas tinggi, lebih banyak apoferrin yang
diproduksi sebagai usaha untuk mengamankan lebih banyak besi dan melindungi organ-organ
dari efek toksik kelebihan besi bebas.
Setiap 120 hari sel-sel darah merah mati dan digantikan dengan yang
baru, proses penggantian tersebut disebut turn over. Setiap hari turn
over besi berjumlah 35 mg. Hanya 1 mg besi dari penghancuran sel-sel darah
merah tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air
kencing. Jumlah besi yang hilang melalui jalur ini disebut kehilangan besi
basal. Selama menstruasi, besi hilang sebanyak 28 mg per periode (Parakkasi
1992).
Sementara itu, sampel yang digunakan untuk percobaan kali ini adalah
Promina daging brokoli. Komposisi yang terdapat pada sampel tersebut akan
menentukan bioavailabilitas sampel terutama kandungan daging dan brokolinya.
Hal tersebut terkait dengan faktor-faktor yang menghambat dan mendorong
penyerapan zat besi di dalam tubuh.
Bioavailabilitas zat besi ditentukan
oleh efisiensi penyerapan zat besi di dalam usus. Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh sumber zat besi itu sendiri,
protein, serta adanya faktor penghambat dan pendorong penyerapan zat besi
(Winarno 2002). Menurut Wirakusumah (1992) dalam makanan
terdapat dua macam zat besi, yaitu: besi heme dan besi nonhem. Besi
heme merupakan zat besi yang terdapat pada pangan hewani seperti daging merah.
Sementara itu, besi nonhem merupakan zat besi dalam makanan
yang terdapat pada pangan nabati, seperti pada sayuran berwarna hijau tua
seperti brokoli dan bayam. Winarno (2002) berpendapat bahwa zat besi yang berbentuk besi heme lebih mudah diserap.
Hal tersebut disebabkan adanya sejumlah faktor penghambat pada pangan nabati
sumber zat besi.
Winarno (2002) menjelaskan bahwa faktor penghambat penyerapan besi di
antaranya adalah asam fitat, asam oksalat, senyawa phenol, dan kalsium. Asam
fitat banyak terdapat pada serat serealia, sedangkan asam oksalat terdapat pada
sayuran. Asam fitat dan asam oksalat mengikat besi sehingga mempersulit
penyerapannya. Senyawa phenol biasa terdapat di
dalam tanaman (teh, kopi, coklat, sayuran) sebagai sistem pertahanan diri
tanaman. Phenol yang memiliki tiga gugus hidroksil akan mengikat besi bervalensi
tiga membentuk chelat sehingga dapat
mengurangi bioavailabilitas zat besi. Tanin pada
teh dan asam chlorogenat pada kopi merupakan contoh senyawa phenol
yang dapat mengikat zat besi. Kalsium juga termasuk salah satu unsur yang
menghambat penyerapan besi. Hal ini disebabkan kompetisi kalsium dan zat besi pada saat proses transfer di
saluran intrasellular.
Di sisi lain, penyerapan besi dapat meningkat karena adanya pendorong
penyerapan seperti vitamin C. Vitamin C atau asam askorbat dapat
mereduksi ferri (Fe3+) menjadi zat besi dalam bentuk ferro (Fe2+)
sehingga dapat lebih mudah melewati dinding mukosa usus. Selain itu, asam askorbat dapat mencegah
terjadinya pengendapan senyawa ferri compleks (misal : ferri hidroksida) di
dalam usus. Kebutuhan zat besi tubuh yang sedang meningkat dan
ketika kekurangan besi feritin di mukosa usus juga dapat meningkatkan
penyerapan besi (Winarno 2002).
Ada beberapa prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh nilai bioavailabilitas
besi pada sampel. Pertama-tama sampel dihaluskan dan ditimbang untuk memperoleh
berat sampel yang mengandung 2 g protein dalam gelas piala yang diketahui
beratnya. Jumlah proten dipertimbangkan karena protein merupakan zat gizi yang
berpengaruh pada bioavailabilitas ataupun penyerapan mineral termasuk zat besi.
Seperti yang dikemukakan oleh Winarno (2002) bahwa protein merupakan alat
angkut dan penyimpanan terhadap hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dalam
eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi diangkut
dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati sebagai kompleks
dengan ferritin
Setelah itu, aquades bebas ion ditambahkan
sampai 100 g atau bila terlalu kental aquades ditambahkan hingga diperoleh
kekentalan yang bisa diaduk. Sebelum gelas piala ditimbang bersama sampel, pH
diatur menjadi 2 dengan HCl 4 N. Ditimbang untuk analisis bioavailabilitas (T1)
dan analisis total asam tertitrasi (T2) masing-masing 20 g. Suspensi pepsin 1
ml (1,6 g pepsin dilarutkan dalam 10 ml HCl 0,1 N) ke dalam T1 dan T2 lalu
diinkubasi pada suhu 37° selama 120 menit dan dimasukkan ke dalam freezer.
Langkah selanjutnya adalah analisis total asam tertitrasi dan analisis
bioavailabilitas. Masing-masing sampel dilakukan dengan uji duplo.
Setelah dilakukan langkah-langkah tersebut
diperoleh beberapa data untuk memperoleh nilai bioavailabilitas. Data-data
tersebut adalah kadar protein, berat setara 2 g, berat sampel, besi tersedia,
berat dialisat, dan volume aliquot. Setelah itu dibuat grafik untuk mengetahui
nilai a dan b. Faktor pengenceran yang digunakan adalah 1. Dihasilkan juga data
peak besi, kadar besi, dan total besi. Dari data-data tersebut dapat dihitung
bioavailabilitas besi dengan rumus yang tersedia. Kontribusi terhadap AKG pun
dapat diketahui setelah diketahui bioavailabilitasnya. Ada dua klasifikasi
perhitungan bioavailabilitas yaitu untuk bayi usia 0-6 bulan dan bayi usia 7-12
bulan. Pada Tabel 1 di bawah ini disajikan data bioavailabilitas besi beberapa
jenis sampel berupa sereal untuk bayi usia 0-6 bulan.
Tabel 1 Bioavailabilitas besi
Kode
Sampel
|
Kadar
Protein (%)
|
Berat Sampel (g)
|
Fe tersedia/mg sampel
|
Kadar Besi
(mg/100 g)
|
Total besi (mg)
|
Bioava-ilabilitas (%)
|
Rata-rata
|
||
Kadar besi (mg/ 100 g)
|
Total besi (mg)
|
Bioava-ilabilitas (%)
|
|||||||
A1
|
12
|
3,333
|
0,120
|
1,266
|
0,289
|
240,693
|
1,258
|
0,286
|
238,003
|
A2
|
12
|
3,333
|
0,120
|
1,250
|
0,282
|
235,313
|
|||
B1
|
12
|
3,333
|
0,120
|
0,961
|
0,276
|
229,933
|
0,892
|
0,282
|
235,313
|
B2
|
12
|
3,333
|
0,120
|
0,825
|
0,289
|
240,693
|
|||
C1
|
42
|
0,952
|
0,30
|
1,481
|
0,282
|
948,782
|
1,131
|
0,257
|
862,017
|
C2
|
42
|
0,952
|
0,30
|
0,779
|
0,231
|
775,251
|
|||
D1
|
22
|
1,797
|
0,054
|
0,646
|
0,199
|
367,963
|
1,502
|
0,334
|
614,442
|
D2
|
22
|
1,818
|
0,55
|
2,358
|
0,470
|
860,921
|
|||
E1
|
12
|
3,333
|
0,125
|
0,336
|
0,302
|
241,394
|
0,671
|
0,305
|
243,977
|
E2
|
12
|
3,333
|
0,125
|
1,007
|
0,308
|
246,559
|
Dari data di atas dapat diketahui bahwa sampel B atau Promina daging
brokoli baik B1 maupun B2 mempunyai kadar protein, berat sampel, dan zat besi
yang tersedia per mg sampel dengan nilai yang sama. Bahan tersebut memiliki
kadar protein 12% AKG. Nilai ini mengacu pada nilai yang terdapat pada nutrition fact kemasan produk tersebut.
Berat sampel yang digunakan adalah 3,33 g. Sementara itu, zat besi yang
tersedianya adalah 0,120 g per mg sampel. Akan tetapi, ada perbedaan nilai
kadar besi B1 dan B2. B1 memiliki kadar besi 0,961 mg/100 g bahan sedangkan
kadar besi B2 adalah 0,825 mg/100 g bahan. Rata-rata kadar besi keduanya adalah
0,892 mg/100 g bahan. Perbedaan nilai tersebut dapat disebabkan perlakuan
sampel B1 dan B2 tidak tepat sama terutama pada saat dialisa sehingga
menghasilkan volume dialisat yang berbeda. Volume dialisat tersebut akan
berpengaruh saat perhitungan kadar besi sampel. Oleh karena itu, nilai total
besi dan bioavailabilitasnya pun berbeda. Total besi B1 adalah 0,276 mg
sedangkan total besi B2 adalah 0,289 mg. Perbedaan nilai keduanya adalah 0,282
mg. Bioavailabilitas zat besi pada B1 adalah 229,933% sedangkan pada B2 adalah
240,693%. Perbedaan kedua nilai tersebut adalah 235,313%.
Nilai tersebut kurang akurat jika dibandingkan dengan nilai pada
referensi. Menurut Winarno (2002) bioavailabilitas zat besi pada setiap bahan
pangan berbeda-beda. Pangan hewani yang merupakan sumber zat besi heme biasanya
memiliki bioavailabilitas zat besi yang tinggi, yaitu: di atas 50%. Sementara
itu, pangan nabati yang cenderung memiliki zat-zat yang menghambat penyerapan
besi memiliki nilai bioavailabilitas besi lebih rendah dibandingkan pangan
hewani, yaitu di bawah 50%. Namun, tidak demikian dengan brokoli. Brokoli
merupakan salah satu pangan nabati yang memiliki nilai bioavailabilitas besi
yang cukup tinggi, yaitu: 61,3%. Nilai bioavailabilitas tertinggi zat besi
adalah 100%. Sementara nilai yang dihasilan dari praktikum memiliki rata-rata
235,313%.
Dari tabel 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel
yang memiliki rata-rata nilai bioavailabilitas dari yang terendah sampai
tertinggi berturut-turut adalah B, A, E, D, C. Dapat dilihat juga bahwa semakin
tinggi kandungan proteinnya, semakin tinggi pula nilai bioavailabilitasnya. Hal
tersebut relevan dengan referensi yang diperoleh. Berdasarkan penuturan Winarno
(2002) protein berkorelasi positif dengan bioavailabilitas zat besi. Protein
sebagai alat angkut dan penyimpanan terhadap hemoglobin yaitu mengangkut
oksigen dalam eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion
besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati
sebagai kompleks dengan ferritin.
Setelah diketahui bioavailabilitas besi, kontribusinya
terhadap angka kecukupan gizi (AKG) besi dapat diketahui. Data kontribusi
terhadap AKG yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Kontribusi terhadap AKG besi
Kode
Sampel
|
Mg besi tersedia/serving
size
|
Mg besi tersedia/2 serving size
|
Rata-rata mg besi/serving size
|
Rata-rata mg besi/2 serving size
|
% AKG remaja/1 serving
size
|
Rata-rata % AKG/1 serving size
|
||
0-6 bulan
|
7-12 bulan
|
0-6 bulan
|
7-12 bulan
|
|||||
A1
|
2,166
|
4,333
|
2,142
|
4,284
|
72,208
|
43,325
|
71,4009
|
42,841
|
A2
|
2,118
|
4,236
|
70,594
|
42,356
|
||||
B1
|
2,069
|
4,139
|
2,118
|
4,236
|
68,980
|
41,388
|
70,594
|
42,356
|
B2
|
2,166
|
4,333
|
72,208
|
43,325
|
||||
C1
|
14,232
|
28,464
|
12,930
|
25,861
|
474,391
|
284,635
|
431,008
|
258,605
|
C2
|
11,629
|
23,258
|
387,626
|
232,575
|
||||
D1
|
4,416
|
8,831
|
7,373
|
14,747
|
147,185
|
88,311
|
245,777
|
147,466
|
D2
|
10,331
|
20,662
|
344,368
|
206,621
|
||||
E1
|
3,621
|
7,242
|
3,660
|
7,319
|
120,697
|
72,418
|
121,988
|
73,193
|
E2
|
3,698
|
7,397
|
123,280
|
73,968
|
Dari tabel
tersebut dapat diketahui bahwa kontribusi zat besi pada produk Promina daging
brokoli terhadap AKG besi bayi usia 0-6 bulan dan 7-12 bulan. Pada B1
kontribusinya terhadap AKG besi bayi 0-6 bulan adalah 69,980% da n terhadap AKG
besi bayi 7-12 bulan adalah 41,388%. Sementara itu, B2 berkontribusi terhadap
AKG besi bayi 0-6 bulan 72,208% dan terhadap AKG besi bayi usia 7-12 bulan
43,325%. Rata-rata kontribusi produk terhadap AKG besi bayi usia 0-6 bulan
adalah 70,594% dan 42,356% terhadap AKG besi bayi usia 7-12 bulan.
Muhilal dan Sulaeman (2004) memaparkan kebutuhan zat besi tubuh
berbeda-beda tergantung usia, jenis kelamin, dan kondisi fisiologi. Berdasarkan
angka kecukupan gizi (AKG) individu pada usia pertumbuhan memiliki kebutuhan
zat besi yang lebih tinggi. Sementara itu, perempuan memiliki kebutuhan zat
besi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kondisi fisiologi yang dapat
meningkatkan kebutuhan zat besi adalah hamil dan menyusui.
Apabila zat besi dalam tubuh berkurang, tubuh akan mengalami anemia gizi
besi. Anemia
didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih
rendah daripada nili normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Anemia defisiensi besi mengakibatkan beberapa dampak negatif, antara lain: berkurangnya kekebalan tubuh, menurunnya daya konsentrasi,
menurunnya daya ingat, menurunnya performa belajar, mudah marah,
berkurangnya nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh. Sebagai indikator level
jumlah zat besi di dalam tubuh, feritin yang bersirkulasi di dalam darah
dapat digunakan untuk menilai status zat besi di dalam tubuh. Sementara itu, kelebihan zat besi bisa menyebabkan
keracunan, kerusakan usus, dan
kanker hati. Gejala-gejala yang menyertainya adalah muntah, diare, dan kulit berwarna merah tembaga (Maeyer 1993).
DAFTAR
PUSTAKA
Maeyer. 1993.
Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi. Jakarta: Widya
Medika.
Muhilal dan
Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Gizi, Makalah Widya Karya Pangan dan Gizi
VIII. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Parakkasi A.
1992. Biokimia dan Metabolisme Gizi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Winarno FG.
2002, Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wirakusumah E.
1999. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta: Trubus Agrowidya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar