Senin, 19 Desember 2011

Bioavailabilitas Besi

TINJAUAN PUSTAKA
Fungsi dan Metabolisme Fe
Zat besi merupakan salah satu mineral mikro yang mempunyai peranan penting di dalam tubuh. Zat besi berperan dalam produksi komponen pembawa oksigen dalam darah, yaitu: hemoglobin. Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP). sebagai media transportasi bagi oksigen dari paru-paru ke berbagai jaringan tubuh. Zat besi juga merupakan bagian dari sistem enzim dan mioglobin, yaitu: molekul mirip hemoglobin yang terdapat di dalam  sel-sel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel-sel otot. Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen membuat daging dan otot-otot berwarna merah. Di samping sebagai komponen hemoglobin dan mioglobin, zat besi juga merupakan komponen dari enzim oksidase pemindah energi, yaitu: sitokrom paksidase dan xanthine oksidase (Maeyer 1993).
Metabolisme besi dalam tubuh terdiri atas proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan, dan pengeluaran. Besi dari makanan ada yang diserap ke usus halus dan ada pula yang keluar melalui tinja. Pada penyerapan di usus halus makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah diserap dalam bentuk ferro melalui pengangkutan ion ferro yang sudah diabsorpsi diubah menjadi ion ferri dalam mukosa usus. Ion ferri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin yang diubah menjadi ferritin yang disimpan di dalam sel mukosa. Apabila simpanan besi total tinggi dan kebutuhan besi tubuh rendah, besi yang baru diabsorpsi dimasukan ke dalam ferritin dan tidak diangkut ke tempat lain. Apabila simpanan besi berkurang atau kebutuhan besi meningkat, besi yang baru diabsorpsi langsung diangkut dari sel-sel mukosa ke sumsum tulang untuk produksi hemoglobin (Parakkasi 1992).
Menurut Parakkasi (1992) besi dalam darah akan diikat transferin, suatu globulin-β yang khusus mengikat besi ferri. Reseptor-reseptor transferin glikoprotein dalam jumlah yang besar di sel-sel eritroid yang berproliferasi mengikat besi transferin dan menginternalisasikan besi tersebut merilisnya ke sel. Transferin dan reseptor trasferin didaur ulang dan membentuk suatu mekanisme efisien untuk menggabungkan besi ke hemoglobin untuk pembentukan sel darah merah.
Parakkasi (1995) berpendapat bahwa besi disimpan dalam bentuk ferritin, dalam sel-sel mukosa usus dan dalam makrofag di dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Sintesis apoferritin diatur oleh kadar besi bebas. Apabila kadar rendah, sintesis apoferritin dihambat dan keseimbangan ikatan besi bergeser menuju transferin. Apabila kadar besi bebas tinggi, lebih banyak apoferrin yang diproduksi sebagai usaha untuk mengamankan lebih banyak besi dan melindungi organ-organ dari efek toksik kelebihan besi bebas.
Setiap 120 hari sel-sel darah merah mati dan digantikan dengan yang baru, proses penggantian tersebut disebut turn over. Setiap hari turn over besi berjumlah 35 mg. Hanya 1 mg besi dari penghancuran sel-sel darah merah tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing. Jumlah besi yang hilang melalui jalur ini disebut kehilangan besi basal. Selama menstruasi, besi hilang sebanyak 28 mg per periode (Parakkasi 1992).
Dalam makanan terdapat dua macam zat besi, yaitu: besi heme dan besi nonhem. Besi heme merupakan zat besi yang terdapat pada pangan hewani seperti daging merah. Sementara itu, besi nonhem merupakan zat besi dalam makanan yang terdapat pada pangan nabati, seperti pada sayuran berwarna hijau tua (Wirakusumah 1992).
Bioavailabilitas zat besi ditentukan oleh efisiensi penyerapan zat besi di dalam usus. Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh sumber zat besi itu sendiri, protein, serta adanya faktor penghambat dan pendorong penyerapan zat besi. Zat besi yang berbentuk besi heme lebih mudah diserap. Hal tersebut disebabkan adanya sejumlah faktor penghambat pada pangan nabati sumber zat besi. Protein sebagai alat angkut dan penyimpanan terhadap hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dalam eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan ferritin. Dengan demikian, protein berkorelasi positif dengan bioavailabilitas zat besi (Winarno 2002).
Winarno (2002) menjelaskan bahwa faktor penghambat penyerapan besi di antaranya adalah asam fitat, asam oksalat, senyawa phenol, dan kalsium. Asam fitat banyak terdapat pada serat serealia, sedangkan asam oksalat terdapat pada sayuran. Asam fitat dan asam oksalat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Senyawa phenol biasa terdapat di dalam tanaman (teh, kopi, coklat, sayuran) sebagai sistem pertahanan diri tanaman. Phenol yang memiliki tiga gugus hidroksil akan mengikat besi bervalensi tiga membentuk chelat sehingga dapat mengurangi bioavailabilitas zat besi. Tanin pada teh dan asam chlorogenat pada kopi merupakan contoh senyawa phenol yang dapat mengikat zat besi. Kalsium juga termasuk salah satu unsur yang menghambat penyerapan besi. Hal ini disebabkan kompetisi kalsium dan zat besi pada saat proses transfer di saluran intrasellular.
Di sisi lain, penyerapan besi dapat meningkat karena adanya pendorong penyerapan seperti vitamin C. Vitamin C atau asam askorbat dapat mereduksi ferri (Fe3+) menjadi zat besi dalam bentuk ferro (Fe2+) sehingga dapat lebih mudah melewati dinding mukosa usus. Selain itu, asam askorbat dapat mencegah terjadinya pengendapan senyawa ferri compleks (misal : ferri hidroksida) di dalam usus. Kebutuhan zat besi tubuh yang sedang meningkat dan ketika kekurangan besi feritin di mukosa usus juga dapat meningkatkan penyerapan besi (Winarno 2002).
Oleh karena itu, bioavailabilitas zat besi pada setiap bahan pangan pun berbeda-beda. Pangan hewani yang merupakan sumber zat besi heme biasanya memiliki bioavailabilitas zat besi yang tinggi, yaitu: di atas 50%. Sementara itu, pangan nabati yang cenderung memiliki zat-zat yang menghambat penyerapan besi memiliki nilai bioavailabilitas besi lebih rendah dibandingkan pangan hewani, yaitu di bawah 50%. Namun, tidak demikian dengan brokoli. Brokoli merupakan salah satu pangan nabati yang memiliki nilai bioavailabilitas besi yang cukup tinggi, yaitu: 61,3%. Nilai bioavailabilitas tertinggi zat besi adalah 100% (Winarno 2002).
Kebutuhan, Defisiensi, dan Kelebihan Zat Besi
Muhilal dan Sulaeman (2004) memaparkan kebutuhan zat besi tubuh berbeda-beda tergantung usia, jenis kelamin, dan kondisi fisiologi. Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) individu pada usia pertumbuhan memiliki kebutuhan zat besi yang lebih tinggi. Sementara itu, perempuan memiliki kebutuhan zat besi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kondisi fisiologi yang dapat meningkatkan kebutuhan zat besi adalah hamil dan menyusui.
Apabila zat besi dalam tubuh berkurang, tubuh akan mengalami anemia gizi besi. Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah daripada nili normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Anemia defisiensi besi mengakibatkan beberapa dampak negatif, antara lain: berkurangnya kekebalan tubuh, menurunnya daya konsentrasi, menurunnya  daya ingat, menurunnya performa belajar,  mudah marah, berkurangnya  nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh. Sebagai indikator level jumlah zat besi di dalam tubuh,  feritin yang bersirkulasi di dalam darah dapat  digunakan untuk menilai  status zat  besi di dalam tubuh. Sementara itu, kelebihan zat besi bisa menyebabkan keracunan, kerusakan usus, dan kanker hati. Gejala-gejala yang menyertainya adalah muntah, diare, dan kulit berwarna merah tembaga (Maeyer 1993).

PEMBAHASAN
Mineral yang diukur bioavailabilitasnya pada praktikum kali ini salah satunya adalah zat besi. Berdasarkan pemaparan dari Maeyer (1993) zat besi merupakan salah satu mineral mikro yang mempunyai peranan penting di dalam tubuh. Zat besi berperan dalam produksi komponen pembawa oksigen dalam darah, yaitu: hemoglobin. Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP) sebagai media transportasi bagi oksigen dari paru-paru ke berbagai jaringan tubuh. Selain itu, zat besi merupakan bagian dari sistem enzim dan mioglobin. Mioglobin berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel-sel otot. Di samping sebagai komponen hemoglobin dan mioglobin, zat besi juga merupakan komponen dari enzim oksidase pemindah energi, yaitu: sitokrom paksidase dan xanthine oksidase (Maeyer 1993).
Konsep bioavailabilitas tidak terlepas dari metabolisme. Untuk mengetahui bioavailabilitas suatu zat gizi termasuk mineral, pemahaman tentang metabolism mineral tersebut di dalam tubuh merupakan dasar yang diperlukan. Metabolisme zat besi dalam tubuh terdiri atas proses pencernaan, absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan, dan pengeluaran. Setelah proses pencernaan di lambung, zat besi dari makanan ada yang diserap ke usus halus dan ada pula yang keluar melalui tinja. Zat ini lebih mudah diserap dalam bentuk ferro melalui pengangkutan ion ferro yang sudah diabsorpsi diubah menjadi ion ferri dalam mukosa usus. Ion ferri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin yang diubah menjadi ferritin yang disimpan di dalam sel mukosa. Apabila simpanan besi total tinggi dan kebutuhan besi tubuh rendah, besi yang baru diabsorpsi dimasukan ke dalam ferritin dan tidak diangkut ke tempat lain. Apabila simpanan besi berkurang atau kebutuhan besi meningkat, besi yang baru diabsorpsi langsung diangkut dari sel-sel mukosa ke sumsum tulang untuk produksi hemoglobin (Parakkasi 1992).
Parakkasi (1995) berpendapat bahwa besi disimpan dalam bentuk ferritin, dalam sel-sel mukosa usus dan dalam makrofag di dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Sintesis apoferritin diatur oleh kadar besi bebas. Apabila kadar rendah, sintesis apoferritin dihambat dan keseimbangan ikatan besi bergeser menuju transferin. Apabila kadar besi bebas tinggi, lebih banyak apoferrin yang diproduksi sebagai usaha untuk mengamankan lebih banyak besi dan melindungi organ-organ dari efek toksik kelebihan besi bebas.
Setiap 120 hari sel-sel darah merah mati dan digantikan dengan yang baru, proses penggantian tersebut disebut turn over. Setiap hari turn over besi berjumlah 35 mg. Hanya 1 mg besi dari penghancuran sel-sel darah merah tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing. Jumlah besi yang hilang melalui jalur ini disebut kehilangan besi basal. Selama menstruasi, besi hilang sebanyak 28 mg per periode (Parakkasi 1992).
Sementara itu, sampel yang digunakan untuk percobaan kali ini adalah Promina daging brokoli. Komposisi yang terdapat pada sampel tersebut akan menentukan bioavailabilitas sampel terutama kandungan daging dan brokolinya. Hal tersebut terkait dengan faktor-faktor yang menghambat dan mendorong penyerapan zat besi di dalam tubuh.
Bioavailabilitas zat besi ditentukan oleh efisiensi penyerapan zat besi di dalam usus. Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh sumber zat besi itu sendiri, protein, serta adanya faktor penghambat dan pendorong penyerapan zat besi (Winarno 2002). Menurut Wirakusumah (1992) dalam makanan terdapat dua macam zat besi, yaitu: besi heme dan besi nonhem. Besi heme merupakan zat besi yang terdapat pada pangan hewani seperti daging merah. Sementara itu, besi nonhem merupakan zat besi dalam makanan yang terdapat pada pangan nabati, seperti pada sayuran berwarna hijau tua seperti brokoli dan bayam. Winarno (2002) berpendapat bahwa zat besi yang berbentuk besi heme lebih mudah diserap. Hal tersebut disebabkan adanya sejumlah faktor penghambat pada pangan nabati sumber zat besi.
Winarno (2002) menjelaskan bahwa faktor penghambat penyerapan besi di antaranya adalah asam fitat, asam oksalat, senyawa phenol, dan kalsium. Asam fitat banyak terdapat pada serat serealia, sedangkan asam oksalat terdapat pada sayuran. Asam fitat dan asam oksalat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Senyawa phenol biasa terdapat di dalam tanaman (teh, kopi, coklat, sayuran) sebagai sistem pertahanan diri tanaman. Phenol yang memiliki tiga gugus hidroksil akan mengikat besi bervalensi tiga membentuk chelat sehingga dapat mengurangi bioavailabilitas zat besi. Tanin pada teh dan asam chlorogenat pada kopi merupakan contoh senyawa phenol yang dapat mengikat zat besi. Kalsium juga termasuk salah satu unsur yang menghambat penyerapan besi. Hal ini disebabkan kompetisi kalsium dan zat besi pada saat proses transfer di saluran intrasellular.
Di sisi lain, penyerapan besi dapat meningkat karena adanya pendorong penyerapan seperti vitamin C. Vitamin C atau asam askorbat dapat mereduksi ferri (Fe3+) menjadi zat besi dalam bentuk ferro (Fe2+) sehingga dapat lebih mudah melewati dinding mukosa usus. Selain itu, asam askorbat dapat mencegah terjadinya pengendapan senyawa ferri compleks (misal : ferri hidroksida) di dalam usus. Kebutuhan zat besi tubuh yang sedang meningkat dan ketika kekurangan besi feritin di mukosa usus juga dapat meningkatkan penyerapan besi (Winarno 2002).
Ada beberapa prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh nilai bioavailabilitas besi pada sampel. Pertama-tama sampel dihaluskan dan ditimbang untuk memperoleh berat sampel yang mengandung 2 g protein dalam gelas piala yang diketahui beratnya. Jumlah proten dipertimbangkan karena protein merupakan zat gizi yang berpengaruh pada bioavailabilitas ataupun penyerapan mineral termasuk zat besi. Seperti yang dikemukakan oleh Winarno (2002) bahwa protein merupakan alat angkut dan penyimpanan terhadap hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dalam eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan ferritin
Setelah itu, aquades bebas ion ditambahkan sampai 100 g atau bila terlalu kental aquades ditambahkan hingga diperoleh kekentalan yang bisa diaduk. Sebelum gelas piala ditimbang bersama sampel, pH diatur menjadi 2 dengan HCl 4 N. Ditimbang untuk analisis bioavailabilitas (T1) dan analisis total asam tertitrasi (T2) masing-masing 20 g. Suspensi pepsin 1 ml (1,6 g pepsin dilarutkan dalam 10 ml HCl 0,1 N) ke dalam T1 dan T2 lalu diinkubasi pada suhu 37° selama 120 menit dan dimasukkan ke dalam freezer. Langkah selanjutnya adalah analisis total asam tertitrasi dan analisis bioavailabilitas. Masing-masing sampel dilakukan dengan uji duplo.
Setelah dilakukan langkah-langkah tersebut diperoleh beberapa data untuk memperoleh nilai bioavailabilitas. Data-data tersebut adalah kadar protein, berat setara 2 g, berat sampel, besi tersedia, berat dialisat, dan volume aliquot. Setelah itu dibuat grafik untuk mengetahui nilai a dan b. Faktor pengenceran yang digunakan adalah 1. Dihasilkan juga data peak besi, kadar besi, dan total besi. Dari data-data tersebut dapat dihitung bioavailabilitas besi dengan rumus yang tersedia. Kontribusi terhadap AKG pun dapat diketahui setelah diketahui bioavailabilitasnya. Ada dua klasifikasi perhitungan bioavailabilitas yaitu untuk bayi usia 0-6 bulan dan bayi usia 7-12 bulan. Pada Tabel 1 di bawah ini disajikan data bioavailabilitas besi beberapa jenis sampel berupa sereal untuk bayi usia 0-6 bulan.
Tabel 1 Bioavailabilitas besi
Kode
Sampel
Kadar
Protein (%)
Berat Sampel (g)
Fe tersedia/mg sampel
Kadar Besi
(mg/100 g)
Total besi (mg)
Bioava-ilabilitas (%)
Rata-rata
Kadar besi (mg/ 100 g)
Total besi (mg)
Bioava-ilabilitas (%)
A1
12
3,333
0,120
1,266
0,289
240,693
1,258
0,286
238,003
A2
12
3,333
0,120
1,250
0,282
235,313
B1
12
3,333
0,120
0,961
0,276
229,933
0,892
0,282
235,313
B2
12
3,333
0,120
0,825
0,289
240,693
C1
42
0,952
0,30
1,481
0,282
948,782
1,131
0,257
862,017
C2
42
0,952
0,30
0,779
0,231
775,251
D1
22
1,797
0,054
0,646
0,199
367,963
1,502
0,334
614,442
D2
22
1,818
0,55
2,358
0,470
860,921
E1
12
3,333
0,125
0,336
0,302
241,394
0,671
0,305
243,977
E2
12
3,333
0,125
1,007
0,308
246,559
Dari data di atas dapat diketahui bahwa sampel B atau Promina daging brokoli baik B1 maupun B2 mempunyai kadar protein, berat sampel, dan zat besi yang tersedia per mg sampel dengan nilai yang sama. Bahan tersebut memiliki kadar protein 12% AKG. Nilai ini mengacu pada nilai yang terdapat pada nutrition fact kemasan produk tersebut. Berat sampel yang digunakan adalah 3,33 g. Sementara itu, zat besi yang tersedianya adalah 0,120 g per mg sampel. Akan tetapi, ada perbedaan nilai kadar besi B1 dan B2. B1 memiliki kadar besi 0,961 mg/100 g bahan sedangkan kadar besi B2 adalah 0,825 mg/100 g bahan. Rata-rata kadar besi keduanya adalah 0,892 mg/100 g bahan. Perbedaan nilai tersebut dapat disebabkan perlakuan sampel B1 dan B2 tidak tepat sama terutama pada saat dialisa sehingga menghasilkan volume dialisat yang berbeda. Volume dialisat tersebut akan berpengaruh saat perhitungan kadar besi sampel. Oleh karena itu, nilai total besi dan bioavailabilitasnya pun berbeda. Total besi B1 adalah 0,276 mg sedangkan total besi B2 adalah 0,289 mg. Perbedaan nilai keduanya adalah 0,282 mg. Bioavailabilitas zat besi pada B1 adalah 229,933% sedangkan pada B2 adalah 240,693%. Perbedaan kedua nilai tersebut adalah 235,313%.
Nilai tersebut kurang akurat jika dibandingkan dengan nilai pada referensi. Menurut Winarno (2002) bioavailabilitas zat besi pada setiap bahan pangan berbeda-beda. Pangan hewani yang merupakan sumber zat besi heme biasanya memiliki bioavailabilitas zat besi yang tinggi, yaitu: di atas 50%. Sementara itu, pangan nabati yang cenderung memiliki zat-zat yang menghambat penyerapan besi memiliki nilai bioavailabilitas besi lebih rendah dibandingkan pangan hewani, yaitu di bawah 50%. Namun, tidak demikian dengan brokoli. Brokoli merupakan salah satu pangan nabati yang memiliki nilai bioavailabilitas besi yang cukup tinggi, yaitu: 61,3%. Nilai bioavailabilitas tertinggi zat besi adalah 100%. Sementara nilai yang dihasilan dari praktikum memiliki rata-rata 235,313%.
Dari tabel 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel yang memiliki rata-rata nilai bioavailabilitas dari yang terendah sampai tertinggi berturut-turut adalah B, A, E, D, C. Dapat dilihat juga bahwa semakin tinggi kandungan proteinnya, semakin tinggi pula nilai bioavailabilitasnya. Hal tersebut relevan dengan referensi yang diperoleh. Berdasarkan penuturan Winarno (2002) protein berkorelasi positif dengan bioavailabilitas zat besi. Protein sebagai alat angkut dan penyimpanan terhadap hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dalam eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan ferritin.
Setelah diketahui bioavailabilitas besi, kontribusinya terhadap angka kecukupan gizi (AKG) besi dapat diketahui. Data kontribusi terhadap AKG yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Kontribusi terhadap AKG besi
Kode
Sampel
Mg besi tersedia/serving size
Mg besi tersedia/2 serving size
Rata-rata mg besi/serving size
Rata-rata mg besi/2 serving size
% AKG remaja/1 serving size
Rata-rata % AKG/1 serving size
0-6 bulan
7-12 bulan
0-6 bulan
7-12 bulan
A1
2,166
4,333
2,142
4,284
72,208
43,325
71,4009
42,841
A2
2,118
4,236
70,594
42,356
B1
2,069
4,139
2,118
4,236
68,980
41,388
70,594
42,356
B2
2,166
4,333
72,208
43,325
C1
14,232
28,464
12,930
25,861
474,391
284,635
431,008
258,605
C2
11,629
23,258
387,626
232,575
D1
4,416
8,831
7,373
14,747
147,185
88,311
245,777
147,466
D2
10,331
20,662
344,368
206,621
E1
3,621
7,242
3,660
7,319
120,697
72,418
121,988
73,193
E2
3,698
7,397
123,280
73,968
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa kontribusi zat besi pada produk Promina daging brokoli terhadap AKG besi bayi usia 0-6 bulan dan 7-12 bulan. Pada B1 kontribusinya terhadap AKG besi bayi 0-6 bulan adalah 69,980% da n terhadap AKG besi bayi 7-12 bulan adalah 41,388%. Sementara itu, B2 berkontribusi terhadap AKG besi bayi 0-6 bulan 72,208% dan terhadap AKG besi bayi usia 7-12 bulan 43,325%. Rata-rata kontribusi produk terhadap AKG besi bayi usia 0-6 bulan adalah 70,594% dan 42,356% terhadap AKG besi bayi usia 7-12 bulan.
Muhilal dan Sulaeman (2004) memaparkan kebutuhan zat besi tubuh berbeda-beda tergantung usia, jenis kelamin, dan kondisi fisiologi. Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) individu pada usia pertumbuhan memiliki kebutuhan zat besi yang lebih tinggi. Sementara itu, perempuan memiliki kebutuhan zat besi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kondisi fisiologi yang dapat meningkatkan kebutuhan zat besi adalah hamil dan menyusui.
Apabila zat besi dalam tubuh berkurang, tubuh akan mengalami anemia gizi besi. Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah daripada nili normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Anemia defisiensi besi mengakibatkan beberapa dampak negatif, antara lain: berkurangnya kekebalan tubuh, menurunnya daya konsentrasi, menurunnya  daya ingat, menurunnya performa belajar,  mudah marah, berkurangnya  nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh. Sebagai indikator level jumlah zat besi di dalam tubuh,  feritin yang bersirkulasi di dalam darah dapat  digunakan untuk menilai  status zat  besi di dalam tubuh. Sementara itu, kelebihan zat besi bisa menyebabkan keracunan, kerusakan usus, dan kanker hati. Gejala-gejala yang menyertainya adalah muntah, diare, dan kulit berwarna merah tembaga (Maeyer 1993).

DAFTAR PUSTAKA
Maeyer. 1993. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi. Jakarta: Widya Medika.
Muhilal dan Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Gizi, Makalah Widya Karya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Parakkasi A. 1992. Biokimia dan Metabolisme Gizi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Winarno FG. 2002, Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wirakusumah E. 1999. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta: Trubus Agrowidya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar